7.1 Alih Kode
Untuk
apat memahami pengertian alih kode dengan lebih baik simaklahterlebih dahulu
ilustrasi dalam paparan berikut!
Nanang
dan ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah
dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang
topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa sunda, bahasa ibu keduanya.
Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan
menyangkut masalah pelajaran. Ktika mereka sedang asyik becakap-cakap masuklah
togar, teman kuliahnya yang berasal dari tapanuli, yang tentu saja tidak dapat
berbahasa sunda. Togar meyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera
mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama
kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan
percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa
Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang,
dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib
dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam
bahasa Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh
percakapan berlangsung dalam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah
selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi
ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam
bahasa daerah.
Dari
ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya nanang dan ujang, yang berbahasa ibu
sama, bercakap-cakap dalam bahasa sunda, kecuali sesekali kalau topik
pembicaraannya mengenai bahan pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Sewaktutogar, yang berasal dari tapanuli itu, masuk, maka nanang dan ujang
mengubah bahasa mereka dari bahasa sunda ke bashasa Indonesia, meskipun hanya
bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan bahasa yang digunakan
oleh teman-teman mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan
kuliah mulai berlangsung, maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia
ragam formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan
berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen meninggalkan ruang
kuliah.
Peristiwa
pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa sunda ke
bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau
juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik.
Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat
dari pakar. Namun, ilustrasi dan keteranan diatas telah member gambaran apa
yang disebut dengan alih kode.
Appel
(1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakain
bahasa karena berubah situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode
itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103)
mengatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat terjadi
antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam
ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Lengkapnya Hymes mengatakan “code switching has become a common term for
alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech
styles”.
Kalau
kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan
kepada pokok persoalan sosiolingustik seperti yang dikemukakan Firhman
(1976:15), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan
dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistic secara umum penyebab
alih kode disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
(4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topic
pembicaraan.
Lawan
bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena
si penutur ingin mengimbagi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal
ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena
memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar
belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya
beupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau
register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si
penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa.
Kehadiran
orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama
dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat
menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas, maka sewaktu nanang
dan ujang bercakap-cakap dalam bahasa sunda, masuklah togar yang tidak
menguasai bahasa sunda. Maka, nanang dan ujag segera beralih kode dari bahasa
sunda ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh lai, simaklah ilustrasi alih kode berikut
dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia (diangkat dari Widjajakusumah 1981).
Latar
belakang : kompleks perumahan guru di
bandung
Pembicara : ibu-ibu rumah tanggga. Ibu S dan
ibu H orang sunda, dan ibu N orang
minang yang tidak bias berbahasa sunda.
Topik : air ledeng tidak keluar
Sebab
alih kode : kehadiran ibu N dalam
peristiwa
Peristiwa
tutur :
Ibu S : bu H, kumaha cai tadi
wengi? Di abdi mah tabuh sapuluh embe
ngocor, kitu ge alit (bu H, bagaimana air ledeng tadi malam? Dirumah saya sih
pukul sepuluh baru keluar, itu pun kecil)
Ibu H : sami atuh. Kumaha ibu N yeuh, ‘kan
biasanya baik (samalah. Bagaimana bu N ni, kan biasanya baik).
Terlihat
di situ, begitubpembicaraan ditujukan kepada ibu N alih kode pun langsung
dilakukan dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia. Status orang ketiga dalam alih
kode jga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan. Pada contoh di
atas ibu N adalah orang minang yang tidak menguasai bahasa sunda, maka pilihn
satu-satunya untuk beralih kode adalah bahasa Indonesia, karena bahasa
Indonesia itulah yang dipahami oleh mereka bertiga.
Menurut
Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia adalah
kerena:
(1)
Kehadiran orang
ketiga
(2)
Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis
(3)
Beralihnya
suasana bicara
(4)
Ingin dianggap
“terpelajar”
(5)
Ingin menjauhkan
jarak
(6)
Menghindarkan
adanya bentuk kasar dan halus dalam bahas sunda
(7)
Menutip
pembicaraan orang lain
(8)
Terpengaruh
lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia
(9)
Mitra
berbicaranya lebih mudah
Sedangkan penyebab alih kode dari bahaa Indonesia ke
bahasa sunda adalah karena:
1.
Perginya orang
ketiga
2.
Topiknya beralih
dari hal teknis ke hal nonteknis
3.
Suasana beralih
dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan
4.
Merasa ganjil
untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung;
5.
Ingin
mendekatkan jarak
Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa sunda
merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa sunda ke bahasa
Indonesia. Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode
intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode
yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa
jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya
dalam ilustrasi. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri
(salah satu bahasa atau ragam yang ada daam verbal repertoir masyarakat.
7.2 Campur Kode
Pembicaraan
mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode.
Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini
mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan.
Kesamaan
yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua
varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat
beda keduanya. Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam
bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas.
Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar