CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 29 Oktober 2013

INTERFERENSI DAN INTEGRASI


8.1 Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan Weinreich (1953) untuk menyebutkan adanya perubahan system suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsure-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Seperti seperti sudah disebutkan dalam bab yang lalu, penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multilingual. Kalau ada, tentu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Namun, kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi ada pula yang tidak, malah ada yang kemampuannya terhadap B2 sangat minim. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap B1 dan B2  Sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.

MEDAN MAKNA



Harimurti (1982) mengatakan bahwa medan makna (semantic field, semantic domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsure leksikal yang maknanya berhubungan. Umpamanya, nama-nama warna membentuk  medan makna tertentu. Begitu juga dengam nama perabot rumah tangga, istilah olah raga, istilah kekerabatan dan sebagainya.
Medan makna meruapakan kelompok kata yang maknanya saling terjalin, maka kata-kata umum dapat  mempunyai anggota yang disebut hiponim. Hal ini terbukti dengan adanya kata tumbuh-tumbuhan yang mempunyai hiponim: bunga, durian, jagung, kelapa, pisang, sagu, tomat ubi; kata bunga mempunyai hiponim: aster, bugenvil, kamboja, matahari, suvenir, tulip.

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

7.1 Alih Kode
Untuk apat memahami pengertian alih kode dengan lebih baik simaklahterlebih dahulu ilustrasi dalam paparan berikut!
Nanang dan ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa sunda, bahasa ibu keduanya. Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan menyangkut masalah pelajaran. Ktika mereka sedang asyik becakap-cakap masuklah togar, teman kuliahnya yang berasal dari tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa sunda. Togar meyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang, dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh percakapan berlangsung dalam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah.
Dari ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya nanang dan ujang, yang berbahasa ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa sunda, kecuali sesekali kalau topik pembicaraannya mengenai bahan pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sewaktutogar, yang berasal dari tapanuli itu, masuk, maka nanang dan ujang mengubah bahasa mereka dari bahasa sunda ke bashasa Indonesia, meskipun hanya bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan bahasa yang digunakan oleh teman-teman mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan kuliah mulai berlangsung, maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia ragam formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen meninggalkan ruang kuliah.
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari pakar. Namun, ilustrasi dan keteranan diatas telah member gambaran apa yang disebut dengan alih kode.
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakain bahasa karena berubah situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) mengatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”.
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolingustik seperti yang dikemukakan Firhman (1976:15), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistic secara umum penyebab alih kode disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topic pembicaraan.
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbagi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya beupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa.
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas, maka sewaktu nanang dan ujang bercakap-cakap dalam bahasa sunda, masuklah togar yang tidak menguasai bahasa sunda. Maka, nanang dan ujag segera beralih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh lai, simaklah ilustrasi alih kode berikut dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia (diangkat dari Widjajakusumah 1981).
Latar belakang   : kompleks perumahan guru di bandung
Pembicara            : ibu-ibu rumah tanggga. Ibu S dan ibu H orang sunda, dan        ibu N orang minang yang tidak bias berbahasa sunda.
Topik                 : air ledeng tidak keluar
Sebab alih kode : kehadiran ibu N dalam peristiwa
Peristiwa tutur   :
Ibu S                  : bu H, kumaha cai tadi wengi? Di abdi mah tabuh sapuluh  embe ngocor, kitu ge alit (bu H, bagaimana air ledeng tadi malam? Dirumah saya sih pukul sepuluh baru keluar, itu pun kecil)
Ibu H          : sami atuh. Kumaha ibu N yeuh, ‘kan biasanya baik (samalah. Bagaimana bu N ni, kan biasanya baik).
Terlihat di situ, begitubpembicaraan ditujukan kepada ibu N alih kode pun langsung dilakukan dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia. Status orang ketiga dalam alih kode jga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan. Pada contoh di atas ibu N adalah orang minang yang tidak menguasai bahasa sunda, maka pilihn satu-satunya untuk beralih kode adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia itulah yang dipahami oleh mereka bertiga.
Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia adalah kerena:
(1)   Kehadiran orang ketiga
(2)   Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis
(3)   Beralihnya suasana bicara
(4)   Ingin dianggap “terpelajar”
(5)   Ingin menjauhkan jarak
(6)   Menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahas sunda
(7)   Menutip pembicaraan orang lain
(8)   Terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia
(9)   Mitra berbicaranya lebih mudah

Sedangkan penyebab alih kode dari bahaa Indonesia ke bahasa sunda adalah karena:
1.      Perginya orang ketiga
2.      Topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis
3.      Suasana beralih dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan
4.      Merasa ganjil untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung;
5.      Ingin mendekatkan jarak

Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia. Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada daam verbal repertoir masyarakat.


7.2 Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat beda keduanya. Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas. Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. 

PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA


Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistic yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian dengan mengutip pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.


5.1 Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue sebuah bahsa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahsa itu menjadi beragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.
Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sendiri itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Dalam buku ini untuk mudahnya, variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, kapan bahasa itu digunakannya. Berikut ini akan dibicarakan variasi-variasi bahasa tersebut, dimulai dari segi penutur dengan berbagai kaitannya, dilanjutkan denagn segi penggunaannya juga dengan bebagai kitannya.

5.1.1 Variasi dari Segi Penutur
  Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berbeda pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi (tetapi dalam buku ini kita sebut dialek saja). Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang sekali bersifat ambigu. Secara linguistic jika masyarakat tutur masih saling mengerti, maka alat komunikasinya adalah dua dialek dari bahasa yang sama.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Variasi bahasa pada zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya alaha apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
Perbedaan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para penutur dapat juga menyebabkan adanya variasi sosial. Dilalam masyarakat tutu yang (masih) mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan dapat pula kita lihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawanan itu.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan denan tingkat, golongan, status, dan kelas social para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut:
Yang disebut dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau bergengsi dari pada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan yaitu variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
Yang dimaksud dengan basilek adalah variasi social yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap dipandang rendah. Bahasa inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.
Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak penakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi social yang bersifat khusu dan rahasia. Artinya variasi ini digunakan oleh kaangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan diluar kelompok itu.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi social yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dan kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat diluar kelompoknya.
 Yang dimaksud dengan argot adalah variasi social yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’dan daun dalam arti ‘uang’.
 Yang dimaksud dengan ken (Inggris = cant) adalah variasi social tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-merengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dala ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis).

5.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian 
    Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaian, atas fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variai bahasa atau ragam bahasasastra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosakata yang secara estetis memiliki ciri eufoni serta daya ungkap yang paling tepat.
Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sderhana karena hars dipahami dengan mudah; komunkatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan waktu (dalam media elektronika).
Ragam bahsa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan intruksi.
Ragam bahsa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, bebas dari keambigua, serta segala macam metafora dan idiom.

5.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara resmi. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan daam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dngan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berkreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga, atau antarteman yang sudah karib.

5.1.4 Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf.
Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaiakan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistic yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya.
Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa lisan dan ragam bahasa dalam bertelegraf sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa tulis; tetapi kedua macam sarana komunikasi itu mempunyai ciri-ciri dan keterbatasannya sendiri-sendiri , menyebabkan kita tidak dapat menggunakan ragam bahasa lisan dan ragam tulis semau kita.

5. 2 Jenis Bahasa
            Penjenisan bahasa dalam sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (ginetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu, sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, dan kultural.

5.2.1 Jenis Bahasa berdasrkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis, artinya, penjenisan itu tidak terbatas pada sruktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Stewart (dalam Fishman (ed.) 1968) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu:
a.       Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed.) 1968:534). Jadi, standardisasi ini akan mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikodifikasikan atau tidak yang diterima oleh masyarakat  tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik secara bahasa pertama maupun bahasa kedua.
b.      Otonomi atau keotonomian dalam sebuah sistem linguistik diseebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535).
c.       Historis atau kesejarahan dalam sebuah linguistik dianggap mempunyai historisitas kalaau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman 1968:535).
d.      Vitalitas atau keterpakaian adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi (Fishman 1968:536).

Jenis bahasa vernakular menurut Pei dan Gaynor (1954:227) adalah bahasa umum yang digunakan sehari-hari oleh satu bangsa atau satu wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari bahasa sastra  yang dipakai terutama disekolah-sekolah dan dalam kesusastraan. Bahasa jenis vernakular ini memiliki ciri otonomi, historisitas, dan vitalitas, tetapi tidak mempunyai ciri standardisasi. Jenis bahasa yang disebut dialek memiliki ciri vitalitas dan historisitas, tetapi tidak memiliki ciri standardisasi dan otonomi, sebabkeotonomian bahasa ini berada di bawah langue bahasa induknya.
 Bahasa yang berjenis kreol hanya memiliki vitalitas, tidak memiliki ciri standardisasi, otonomi, dan historisitas. Pada mulanya sebuah kreol berasal dari sebuah bijin, yang dalam perkembangannya digunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi verbal  yang mereka kuasai. Bahasa yang berjenis pujin tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini terbentuk secara alami didalam suatu kontak sosial yang terjadi antara sejimlah penutur yang masing-masing memilki bahasa ibu (Bolinger 1975:364).

5.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Peembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannyadengan kepentingan berbangsa. Adanya kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada sebuah sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pada sistem linguistik yang berbeda.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, sering kali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistiik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu, adalah bahasa nasional bagi bangsa indonesia.
Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah sebuah sistem linguitik secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa negara biasanya dikaitkan dengan keterpakaian bahasa itu yang sudah merata di seluruh wilayah negara itu. Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat dan sebagainya.
Pengangkatan suatu sistem linguistik sebagai bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, dimana bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat yang multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.

5.2.3 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu dan keluarga yang memelihara seorang anak.
Bahasa ibu juga lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian seorang anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3). Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.

5.2.4 Lingua Franca
Lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan alat komunikasi sementara oleh para partisipan hyang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebua franca adalah berdasarkan adanya kesalingpahaman diantara sesama mereka.
Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesalingpengertian dari para partisipan yang menggunakannya, maka “bahasa” apa pun, baik sebuah langue, pijin, maupun kreol, dan dapat menjadi sebuah lingua franca itu.

PROFIL SOSIOLINGUISTIK DI INDONESIA


1) Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing
Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dengan berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama,pengertian mengenai beda antara bahasa dengan dialek sering kali terkacaukan. Misalnya, yang disebut bahasa Pakpak dan bahasa Dairi di Sumatera Utara secara 1inguistik adalah satu bahasa yang sama karena tata bunyi, tata bahasa, dan Ieksikonnya sama; dan kedua anggota masyarakat tutur kedua bahasa itu dapat saling mengerti (mutually intelligible); tetapi masyarakat bahasa di sana menganggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Sebaliknya, bahasa Jawa Cirebon yang sudah sangatjaub bedanya dengan dialek bahasa Jawa yang lain, masih dianggap sebagai bahasa Jawa (lihat Ayatrohaedi 1990). Kedua, seperti dilaporkan Tallei (1976), Yahya (1977), dan Danie (1987) banyak penutur bahasa daerah di Sulawesi Utara yang menyamakan dialek Melayu Maiiado sama dengan bahasa Indonesia tetapi sebaliknya banyak penutur bahasaMelayu di Riau yang menganggap bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa Indonesia
Persoalan kita sekarang masih perlukah kita niendatajumlah bahasabahasa daerah yang ada di Indonesia. Jawabannya adalah "ya", sebab apabila kita mengetahui keadaan kebahasaan di Indonesia dengan tepatatau agák tepat kita akan dapat membuat perencanaan bahasa dengan lebih tepat lagi.
Status sosial politik, dalam arti kedudukan dan fungsi, ketiga bahasa itu telah dirumuskan dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta bulan Februari tahun 1975. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional  bahasa negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional dimulai ketika dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, para pendahulu kita mengangkatnya dari bahasa Melayu, yang sejak abad kè-16 telah menjadi lingua franca di seluruh Nusantara, menjadi bahasapersaivan, yang akan digunakan sebagai alat petjuangan nasional. Kedudukannya sebagai bahasa negara berkenaan dengan ditetapkannya di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36.  bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia nienjalankan tugas sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional (3) sarana penyatuan bangsa dan (4) sarana perhubungan antarbudaya dan daerah. Lalu, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia bertugas sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lenibaga lembaga pendidikan (3) sarana perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan,dan (4) sarana di pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Dari fungsi-fungsi yang diembannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.
Bahasa-bahasa lain yang merupakan bahasa penduduk asli seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Bugis, dan sebagainya berkedudukan sebagai bahasa daerah.
Kedudukan bahasa - bahasa daerah ini           di jamin kehidupan dan kelestariannya seperti dijelaskan pada Pasal 36 Bab XV Undang-Undang Dasar 1945. Bahasa daerah mempunyai tugas sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan (4) sarana, pengembangan serta pendukung kebudàyaan daerah. Selain itu, di dalam    hubungannya dengan tugas bahasa Indonesia, bahasa daerah ini bertugas pula sebagai (1) penunjang bahasa nasional, (2) sumber bahan pengembangan bahasa nasional, dan (3) bahasa pengantar pembantu pada,tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Jadi, bahasa-bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua.
Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti bahasa Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa-bahasa tersebut bertugas. sebagai (1) sarana perhubungan antarbangsa, (2) sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan (3) alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknohogi ,bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah negara Republik Indonesia
bahasa pertama, bahasa kedua, dan. bahasa . Ketiga biasanya digunakan sebagai istilah dalam urut-urutan pemerolehan atau penguasan bahasa. Bahasa yang mula-mula dipelajari seorang anak, biasanya dan lingkungan keluarganya, disebut bahasa pertama atau bahasa ibu. Sebagian besar anak Indonesia memiliki bahasa pertama adalah bahasa daerahnya masing-masing. Kemudian kalau pergi ke sekolah. dan mempelajari bahasa indonesia, maka bahasa Indonesia tersebut sebagai bahasa kedua. Kalau kelak berikutnya di sekolah menengah dia belajar pula bahasa Inggris, maka bahasa inggris itu disebut bahasa ketiga.
Penggunaan bahasa Indonesia semakin hari semakin meluas, dan jumlah penuturnya bertambah banyak. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, karena bahasa Indonesia memiliki status sosial tinggi yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan. Ini berarti dapat berbahasa Indonesia mempunyai rasa kebanggaan tersendiri, yaitu kebanggaan nasional. Sumarsono (1990) melaporkan masyarakat tutur minoritas Melayu Loloan di Bali dapat mempertahankan bahasanya dan pengaruh bahasa Bali, tetapi tidak dapat mempertahankan diri dari pengaruh penggunaan bahasa Indonesia. ini terjadi sebagai akibat bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara sedangkan bahasa Bali ada hanyalah sebuah, bahasa daerah.

2) Bahasa Indonesia Berasal dari Pijin?
Dalam studi sosiologinguistik ada satu hal yang menarik mengenai asal-usul bahasa Indonesia, yaitu adanya pendapat darl pakar asing yang memiliki reputasi nama internasional bahwa bahasa Indonesia standar berasal dari sebuah pijin yang disebut Bazaar Malay atau Low Malay. Pendapat ini mula-mula dilontarkan oleh seorang sejarawan kenamaan G.M. Kahin dalam bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University press 1952). Pendapat Flail ini banyak diikuti oleh pakar lain seperti Hopper (1972), dan di Indonesia oleh Poedjosoedarmo (1978) dan Alwasilah (1985).
Benarkah bahasa Indonesia standar berasal dan sebuah Pijin? kita harus menelusuri dulu perkembangn bàhasa Melayu dari abad ketujuh, zaman Sriwijaya, dan perkembangannya sebagai 1ingua franca mulai dan pelabuhan-pelabuhan di India sebelah barat sampai ke wilayah Maluku di sebelah timur. Dalam buku ini tentu tidak sempat kita bicarakan (tetapi Anda dapat melihat tulisan-tulisan dari Alisjahbana, Teeuw, Prentice dan Steinhauer di dalarn Kridalaksana 1990). Dari perkembangan dan penyebarannya yang begitu luas, digunakan sebagai Iingua frarca oleh berbagai bangsa dan suku bangsa untuk berbagai keperluan seperti perdagangan, politik, perjuangan, penyebaran agama, kesusastraan, dan sebagainya, maka kita dapat membedakan adanya:
(1) Sejumlah besar bahasa-bahasa Melayu di daerah inti atau asal bahasa Melayu, yakni di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, wilayah bágian selatan Muangthai, dan sepanjang pantai Kalimantan, termasuk Kalimantan utara.
(2) Bahasa yang mirip bahasa Melayu yang masing-masing merupakan kumpulan dialek tersendiri seperti Minangkabau dan Kerinci.
(3) Bahasa pijin, Melayu Pasar, yang terdapat di berbagai tempat di seluruh Nusantara, yang akhirnya menjadi kreol-kreol, seperti di Manado, Ambon, Ternate, Banda, Kupang, Jayapura, Fakfak, Merauke, Larantuka, dan Banjar. Termasuk juga yang disebut Baba Malay, yang digunakan oleh keturunan etnis Cina.
(4) Kelompok Melayu lain seperti Melayu Jakarta dan Melayu Loloan di Bali. Dialek Jakarta, seperti dikemukakan Steinhauer( 1990, asalnya dari 1980) tampaknya agak unik, sebab selain mengandung banyak unsur-unsur Melayu klasik juga banyak sekali dipengaruhi oleh unsur nonMelayu, Bahasa Melayu Loloan di Pulau Bali, seperti dilaporkan Sumarsono (1990) dibawa langsung oleh sisa-sisa pasukan Pontianak dan Bugis ke daerah itu.
(5) Kelompok bahasa Melayu Pustaka, Melayu Tinggi, yang mula-mula berpusat di Johor dan Riau;
Dari pengelompokan di atas menjadi jelas bagi kita dari bahasa Melayu mana yang dijadikan dasar akan bahasa Indonesia standar. Tentu saja bukan dari kelompok (1), (2), (3), dan (4), melainkan dari kelompok (5), yaitu yang berkembang dan pusat pemerintahan di Jakarta. Proses pembakuannya dimulai dengan penetapan ejaan oleh Ch A. Van Ophuijsen tahun 1901; dilanjutkan dengan panerbitan buku-buku Balai Pustaka, penerbitan Majalah Pujangga Baru; dengan adanya Kongres Bahasa I tahun 1938 di kota Solo; penetapannya sebagai bahasa negara daarn Undang-Undang Dasar 1945.
Poedjosoedarmo (1978) dan Alwasilah (1985) tetap sependapat dengan Hall, tanpa menyinggung bantahan Kridaiaksana itu. Ada baiknya sanggahan Kridaiaksana terhadap pendapat Hall itu dikemukakan di sini Daiam sanggahan itu Kridalaksana mengajukan fakta-fakta yang intinya:
(1) Ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia dalarn Sumpah Pemuda tahun 1928 bahasa Melayu telah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu dari masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau dan Kalimantan-dan bahasa Melayu ini pun telah mempunyai kesusastraan.
(2) Sebelurn menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu ini telah melalui proses standardisasi, terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda.
(3) Di samping bahasa Melayu yang fill-fledged itu terdapat pula variasi lain yang disebut bahasa Melayu Pasar yang digunakan oleh pedagang-pedagang Cina, dan oleh orang-orang Belanda dalam berbicara dengan orang-orang yang dijajahnya. Bahasa Melayu Pasar ini jelas merupakan pijin.
(4) Di samping itu terdapat pula sejumlah kreol yang berdasar bahasa melayu seperti bahasa Melayu Manado Melayu Timor dan Melayu Ambon, yang hingga kini tidak mempunyai kesusastraan.
(5) Dialek-dialek Melayu yang nonstandar juga ada, seperti dialek Melayu Langkat, Melayu Deli, danMelayu Jakarta Begitu juga dialek-dialek regional yang ada di Semenanjung Malaya.

3) Pembakuan Bahasa Indonesia
Pembakuan bahasa menyangkut semua aspek atau tataran bahasa yaitu intaksis, kosakata, dan peristilahan. Pembakuan ejaan telah dimulai tahun 1901 oleh Ch.A. Van Ophuijsen seorang sarjana Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka, Menteri pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, pada tahun 1947, merevisi ejaan Van Ophuijsen itu. Hasilnya, berupa ejaan yang lebih sederhana, yang disebut Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di kota Medan tahun 1954.
Segera dibentuk panitia penyempurnaan ejaan yang diketuai oleh Prof Prijono dan Katopo Hasilnya adalah konsep ejaan baru yang disebut sebagai Ejan Prijono-Katopo. Sebelum ejaan ini dilaksanakan ada keinginan dan pihak Persekutuan Tanah Melayu (yang diberi kemerdekaan tahun 1956) untuk Pelaksanaannya diumunkan oleh presiden dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1972

4) PengajaranBahasa
Masalah pendidikan dan pengajaran bahasa sebagai salah satu topik dalam sosiolinguistik, dan selagai salah satu sarana untuk pembakuan dan pembinaan bahasa.
Dalam pendidikan formal, pendidikan bahasa Indonesia rnempunyai dua muka Pertama, sehagai bahasa pengantar di dalam pendidikan, dan kedua, sebagai mata pelajaran yang harus dipelajari. Sebagai mata pelajaran bahasa Indonesia termasuk mata petajaran penting, sama dengan pendidikan agama

5) Sikap dan Kemampuan Berbahasa Indonesia
Secara nasional kedudukan bahasa Indonesia adalah pada tingkat kedua, dan bahasa asing
Bagi sebagian (kecil) orang Indonesia ada faktor lain yang menyebabkan  rnereka menempatkan bahasa asing(baca: Inggris) tidak pada tempat di bawah bahasa Indonesia, melainkan di atas         bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap itu adalah pandangan social ekonomi dan bisnis Penguasaan  bahasa inggris yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf social ekonomi yang jauh lebih baik dari pada hanya menguasai bahasa Indonesia

Kalimat-kalimat yang tidak jelas
-            Penulis berharap semoga dengan karya tulis ini dapat mendobrak kesan guru yang tidak benar dan sangat menyakitkan itu
-            Diharapkan dari hasil penulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan, karena dengan adanya paper ini dapat diciptakan proses belajar mengajar menjadi lancer.

Badudu (1989) dan Djabarudi (1989) dalam suatu seminar mengenai pembinaan bahasa melaporkan ketidaktertiban dan ketidakcermatan bahasa dalam pers.
-          Dengan selesainya fasilitas pendidikan tinggi utama ini akan melengkapi fasilitas-fasilitas yang sudah ada sebelumnya.
-          Vonis dijadwalkan akan dijatuhkan akhir bulan ini
-          Sewaktu digeledah, petugas menemukan buku-buku terlarang di dalam tasnya.
-          Tengah malam ketika akan mengambil air sembahyang, Ny. Dh., untuk sholat tahajud, tiba-tiba disekap 3 orang tak dikenal dan menyumbat mulutnya, kemudian menggotong ke tengah sawah di dekat dusunnya.