Di dalam rumah sederhana terlihat aku yang
baru bangun tidur dan bergegas mandi. Di dapur terlihat ibuku yang sedang
memasak. Ayahku, adikku, kakakku dan
suami kakakku sedang sibuk dengan
kesibukan masing-masing mempersiapkan diri untuk pergi ke masjid. Dan akhirnya
kami sekeluarga pergi ke masjid.
Mentari mulai menampakkan sinarnya.
Sayup-sayup mengagungkan tuhan telah menggema dari malam yang gelap dengan
taburan bintang hingga pagi dengan bunyi langkah kaki setiap orang yang ingin
pergi ke masjid untuk salat Idul fitri itu menggambarkan aura kesakralan di hari
kemenangan.
Aku telah pulang dari masjid.
Teringat 3 bulan yang lalu ayahku pernah berkata “lebaran idul fitri tahun
depan kita sekeluarga ke Rumah nenek dulu, setelah itu baru pergi ke
rumah-rumah tetangga yang dekat,” ujarnya. Tetapi siapa yang tahu apa yang akan
terjadi esok hari. Hari yang ditunggu itu telah tiba tetapi kakekku sudah tidak
ada lagi. lebaran tahun 2010 ini adalah lebaran idul fitri pertamaku tanpa
kehadiran kakekku. Penyesalan memamang selalu datang di akhir. Mengapa diwaktu
kami ingin mengubah kebiasaan dan mendahulukan meminta maaf terlebih dahulu
dengan orang tua ibuku karena biasanya lebaran ke 2 baru kami ke rumah nenek
tetapi kakekku telah tiada.
Setelah meminta maaf dengan kedua
orang tuaku, kakakku, adikku, dan suami kakakku kami sekeluarga pergi ke rumah
nenek. Setelah sampai dirumah nenekku aku melihat disudut ruang tamu di situlah
kakekku terbiasa duduk saat kami sekeluarga saling meminta maaf. Aku meminta
maaf pada nenekku “maafkan segala kesalahanku nenek,” ujarku dengan kesedihan
yang tersimpan didalam hati dan air mata itu tidak jatuh tetapi hatiku
menangis. Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan kerinduanku pada kakekku sehingga
tanpa kusadari aku meminta maaf pada nenekku sampai 2 kali.
Di mulai hari itu aku tidak akan
lagi mendengar suaranya dan do’a yang diucapkannya untukku “semoga jadi orang yang sukses,’ ujarnya. Kata itu masih terngiang dan akan kuingat
selama hidupku.
Kenangan-kenangan demi kenangan mengalir
terbawa suasana hatiku yaitu pada saat
aku pergi ke Rumah sakit Ibnu Sina pada hari minggu karena hanya hari itu aku
libur kuliah. Aku melihat keadaan kakekku yang sedang sakit. Terasa olehku rasa
sakit dan penderitaan kakekku yang terbaring di tempat tidur yang disediakan
rumah sakit. Aku tidak tega melihat pemandangan yang memilukan itu. “aku mau
pulang,”kata kakekku memecah kesunyian salah satu kamar di rumah sakit. Aku
hanya terdiam mendengar kata-kata itu terucap.
Aku, ayahku, dan ibuku berpamitan
pada kakekku. Dengan taxi akhirnya sampai juga aku di Gramedia. Aku keluar
dari taxi itu dan melanjutkan ke Marpoyan dengan naik Busway. Ibuku dan ayahku
melanjutkan perjalanannya. Keduanya akan naik mobil Travel setelah taxi itu
berhenti di rumah sakit Awalbros karena mobil travel ke Belilas telah
menunggunya disana.
Malam telah menunjukkan jam 21.00 malam.
Hatiku gundah dan air mata tiba-tiba mengalir di pipiku. Aku takut kehilangan
kakekku yang sangat kusayangi itu. Akhirnya aku tertidur. Jam 01.00 malam
handphoneku berbunyi dan aku terbangun. Terdengar suara ayahku “kakekmu
meninggal,”ujarnya. Aku kaget mendengar berita itu dan air mata mengalir dan
tak terbendung lagi. Aku tidak bisa pulang dan melihat kakekku dikuburkan
karena ayahku tidak membolehkan aku pulang.
Aku tidak pernah menduga bahwa
pertemuan di Rumah Sakit Ibnu Sina adalah pertemuan terakhirku dengan kakekku.
Keesokan harinya baru kusadari bahwa setiap manusia pasti akan pergi dan
menghadap sang khalik. Sehingga aku mencoba mengikhlaskannya, dan akan kusimpan
kenangan indah saat bersamanya. Walaupun raga tidak bisa lagi saling menyapa
tetapi kasih sayang yang diberikan seorang kakek terhadap cucunya akan tetap
membekas dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar